12 Menit Kemenangan Untuk Selamanya (2014)
Elaine, remaja yang tumbuh dan besar di Jakarta, tiba-tiba harus pindah
ke Bontang (Kaltim) karena harus mengikuti sang ayah yang merupakan seorang
insinyur kimia asli Jepang dan ditugaskan untuk memimpin sebuah
departemen di sebuah perusahaan besar di Bontang. Elaine terpaksa
meninggalkan segala sesuatu yang selama ini begitu berarti baginya.
Di lain pihak, Tara memiliki gangguan berat. Sebuah kecelakaan mengakibatkan dia kehilangan pendengaran serta merenggut nyawa sang ayah. Setelah kejadian itu, Ibu Tara harus melanjutkan kuliah ke luar negeri (Inggris) sehingga Tara harus diasuh oleh opa dan omanya. Demi menuruti kata sang ibu, Tara terus tinggal di Bontang dan berjuang untuk melanjutkan hidupnya.
Kemudian ada Lahang, keturunan Dayak Belian, Ia memiliki keinginan yang sangat kuat. Ia tidak ingin hanya berkarya di kampungnya namun Ayahnya sakit parah. Tak ada yang tahu apa penyakitnya, ketika diadakan upacara dan diberitahu soal penyakitnya oleh tetua adat, Ayahnya meminta agar tidak diberitahukan kepada Lahang. Selama ini mereka hidup hanya berdua karena sang ibu sudah lama meninggal dunia dan meninggalkan foto bergambar monas dengan pesan dibelakangnya agar lahang dapat menakhlukkan tugu tugu yang tinggi dengan cita citanya. Kemudian Lahang terjebak dalam dilema. Memilih antara mencapai impiannya atau merawat sang Ayah.
Tiga anak remaja itu dipertemukan dalam sebuah grup Marching Band. Sebuah kelompok besar yang memiliki misi yang sama besarnya. Rene, pelatih Marching Band profesional, dipilih untuk membawa Marching Band Bontang ke tingkat nasional. Dan bagi Rene ini adalah tantangan besar memimpin 130 anak dari kota kecil. Mereka datang dari berbagai latar belakang. Jadwal latihan mereka sangat padat, berat dan keras. Elaine, Tara, dan Lahang berusaha meraih mimpi mereka secara profesional walaupun banyaknya masalah kehidupan mereka masing-masing.
Kesuksesan sebuah marching band dinilai
dalam 12 menit penampilan di Grand Prix Marching Band (GPMB). Berbagai
tim marching band dari seluruh Indonesia berkompetisi di ajang tahunan
yang digelar di Jakarta tersebut. Dua belas menit itu disiapkan dengan
keringat, air mata, dan perjuangan menghadapi beragam problem, khususnya
pergulatan melawan penghalang dalam diri sendiri. Dua belas menit
penentu kemenangan juga
harus dilalui Marching Band Bontang Pupuk Kalimantan Timur (MBBPKT),
yang telah meraih sepuluh kali gelar Juara Umum Nasional GPMB.
Film "12 Menit" menyajikannya lewat kisah nyata tiga dari ratusan anggota MBBPKT saat berlatih demi GPMB. Perjuangan
mereka tak hanya terkait
latihan musik dan berbaris, tetapi juga hubungan orang tua-anak,
pemimpin-anak buah, kerjasama tim, keluarga, semangat pantang menyerah,
serta pilihan-pilihan dalam hidup. Dengan kegigihan dan perjuangan, grup
Marching Band ini berhasil memenangkan kompetisi tingkat nasional.
Tanpa bumbu cinta monyet khas drama
remaja, "12 Menit" justru memikat orang awam marching band, dengan
inspirasi dan motivasi terutama lewat dialog antara pelatih dengan
anggota MBBPKT.
Penonton diajak berkenalan dengan dunia
marching band yang terkesan kaku, tegas, tetapi tetap sarat cinta
universal. Dihiasi bunyi alat-alat perkusi marching band dan nuansa
budaya Dayak, "12 Menit" tidak berfokus untuk menjadi film musik, malah
menggali pesan-pesan kepemimpinan.
Sedangkan untuk mereka yang tak asing
dengan marching band, "12 Menit" merefleksikan lebih banyak kesedihan
berakhir bahagia dalam pengorbanan mempertahankan tekad bergabung dalam
tim marching band.
Refleksi terasa makin kuat lewat akting
para personil asli MBBPKT (Arum Sekarwangi sebagai Tara dan Hudri
sebagai Lahang) bersama aktor-aktris profesional, di bawah arahan
sutradara Hanny R. Saputra. (Baca Juga : Sinopsis Film 7/24 (2014), dibintang Lukman Sardi, Dian Sastro)
Penulis skenario Oka Aurora juga berhasil membuka sedikit suasana batin di balik gagahnya para anggota marching band.
Produksinya pun digarap serius. Seperti
berlatih ribuan jam untuk 12 menit, film berdurasi 108 menit ini juga
butuh dua tahun dengan dana yang tidak sedikit.
Karenanya, salah satu produser Regina Septapi pun menjamin, tak akan muncul lagi film serupa dalam sepuluh tahun mendatang.
No comments: